Page

Sabtu, 11 April 2015

Menjadi Pribadi Qur'ani




Pribadi Sebagai Hamba Allah
Kenyataan di jagad raya (dunia) membuktikan bahwa ada kekuatan yang tidak Nampak. Dia mengatur dan memelihara alam semesta ini.Juga Dialah yang menjadi sebab adanya semua ini. Dalam pengaturan alam semesta ini terlihat ketertiban, dan ada suatu peraturan yang berganti-ganti dan gejala dating dengan keteraturan-Nya.
Semua kenikmatan tersebut, bukan berarti “ Sang Pencipta mempunyai maksud kepada manusia supaya membalas dengan sesuatu, itu tidak, tetapi Allah SWT. memerintahkan manusia agar senantiasa beribadah kepada-Nya.
Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan makhluk dengan kholiknya. Dalam masalah ketergantungan , hidup manusia selalu mempunyai ketergantungan kepada yang lain. Dan tumpuan serta pokok ketergantungan adalah ketergantungan kepada yang Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah Allah Rabul ‘alamin, Allah Tuhan Maha Esa.
Ketergantungan manusia kepada Allah ini, difirmankan Allah:

Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. al-Ikhlas: 2)
Pada garis besarnya kewajiban manusia kepada Allah menurut hadits Nabi, yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa Nabi Saw. bersabda:
كُنْتُ رِدْفَ النَّبِى صَلَى اللهُ عليهِ وسلَّمَ عَلَى حِمَارِ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ فَقَالَ : ياَ مُعَاذُ، هَلْ تَدْرِىْ حَقَّ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقَّ اْلعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ ورَسُوْلُهُ اَعْلَمُ قَالَ : فَإِنَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ اَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَايُشْركُوا بِهِ شَيْأً وَحَقُّ العِبَادِ عَلَى اللهِ اَنْ لَايُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكَ بِهِ شَيْأً , قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ! اَفَلَا اُبَشِّرُ بِهِ النَّاسِ؟ قَالَ : لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا
“Adalah aku duduk di belakang Nabi di atas sebuah keledai yang dinamai Ufair, maka bersabda Nabi: Hai Mu’adz apakah engkau mengetahui hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak engkau mengetahui hak hamba terhadap Allah? Menjawab aku, Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Bersabda Nabi: maka bahwasanya hak Allah atas para hamba, ialah : Mereka menyembah-Nya dan tidak memperserikatkan Dia dengan sesuatu dan hak para hamba terhadap Allah, Tiada Allah mengadzabkan orang yang tidak memperserikatkan Dia dengan sesuatu. Mka berkata aku, ya Rasullah, apa tidak lebih baik saya menggembirakan para manusia dengan dia? Bersabda Nabi, jangan kamu menggembirakan mereka yang menyebabkan mereka akan berpegang kepada untung saja.” (Al-Lu’la uwal Marjan I :8)
Jadi berdasarkan hadits ini kewajiban manusia kepada Allah pada garis besarnya ada  dua:
1.      Mentauhidkan-Nya yakni tidak memusyrikkan-Nya kepada sesuatupun.
  1. Beribadah kepada-Nya.
Orang yang demikian ini mempunyai hak untuk tidak disiksa oleh Allah, bahkan akan diberi pahala dengan pahala yang berlipat ganda, dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat bahkan dengan lipat ganda yang tak terduga banyaknya oleh manusia.

Pribadi sebagai Anak
Ketika nabi Ibrahim masih kecil, berdialog kepada ayahnya tentang Tuhan. Dan kesimpulannya bahwa Tuhan telah member petunjuk kepada manusia bahwa memperTuhan benda adalah sangat keliru.
Dengan demikian, dunia anak sangat penting diperhatikan. Apabila keliru dalam mendidik akhlak anak, bias jadi dunia anak akan tidak mengenal akhlak yang lebih lanjut anak akan melakukan perbuatan yang abnormal kriminalitas dan lain sebagainya. Contoh dalam pendidikan akhlak, apabila anaka-anak sekolah berdusta di dalam segala apa yang mereka bicarakan, didukung para gurunya berdusta juga di dalam mengajar dan segala pembicaraannya, maka masyarakat (anak-anak) tidak dapat berujud. Dan apabila dunia anak terancam demikian, masyarakat yang akan dating tidak dapat berwujud karena adanya tiap-tiap yang dibicarakan menjurus dusta. Dan yang membekas dan berwujud pada masyarakat yang merusak dan rendah martabatnya.
Maka model mendidik akhlak anak, tidak langsung berkata itu baik, atau itu buruk, apabila seorang anak baru saja belajar membaca, menurut kita itu jelek/buruk namun kita tidak seharusnya berkata demikian. Sebab dapat menyakiti hati dan patah semangat. Tetapi kita beri semangat dan dorongan yang dapat memacu dan bergiatnya si anak.

Akhlak Pada Ayah dan Ibu
      Betapa berat tangguangan seorang ibu dikala mengandung dan demikian pula kalau sudah dating waktunya melahirkan. Dengan mengerahkan seluruh perhatian, jiwa raga dan tenaga si ibu melahirkan jabang bayinya dengan harap-harap cemas. Berharap agar si bayi yang dilahirkannya sehat dan sempurna keadaannya sebagai manusia sempurna anggota badannya, seperti susunan jasmaninya dan tumbuh dalam keadaan yang wajar baik jasmani maupun rohaninya. Cemas kalau-kalau jabang bayinya tidak normal baik jasmani dan rohaninya atau ada gangguan-ganguan yang tidak diinginkannya. Di samping itu derita jasmani si ibu menahan dikala melahirkan jabang bayinya tersebut.
Setelah jabang bayinya lahir, betapa kasih saying si ibu kepada anaknya, seakan-akan segala yang ada pada si ibu adalah untuk anaknya. Jiwa, raga perhatian, kasih saying semuanya ditumpahkan untuk si jabang bayi itu, agar si bayi selamat sentosa dalam pertumbuhannya menjadi manusia yang baik. Kata sanjung dan manjaan, kata timang yang mengandung doa dan harapan meluncur dicurahkan untuk si bayi, semoga kelak menjadi manusia yang ideal.
Mengapa demikian besar kasih sayang ibu kepada anaknya. Padahal sewaktu belum mengandung seakan belum mau mempunyai anak. Atau karena anaknya sudah dua tiga ingin tidak ada yang keempat. Tetapi karena dikarunia Tuhan anak yang selanjutnya kasih saying ibu tidak ada bedanya antar kepada yang pertama yang kedua dan seterusnya.
Dari mana datangnya cinta kasih saying kepada putranya, padahal tiada pamrih. Lain dengan cinta seorang kekasih kepada pacarnya, yang kalau kasihnya tiada terbalas bias berbalik menjadi benci. Tetapi kasih ibu bagaimanapun tiada akan berubah dan hilang, walaupun si anak tiada membalas kasih dan cinta ibu.
Memang itu kareana “Hidayah”, anugerah dari pada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Hidayah itu tersebut insting atau naluri, dalam ilmu agama disebut “Hidayah-ghariziyyah”.
Beberapa perkara yang harus di perhatikan dan dilaksanakan oleh seorang anak kepada Orang tua yakni:
a.      Berbuat Baik kepada Ibu dan Ayah, Walaupun keduanya Lalim
            Seorang anak menurut ajaran islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai seorang anak samapai menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun seandainya orang tuanya berbuat lalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka jangan sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas atau mengimbangi ketidakbaikan orang tua kepada anaknya. Allah tidak meridhoinya sehingga orang tua itu meridhoinya.
b.      Berkata Halus dan mulia kepada Ibu dan Ayah
            Kewajiban anak kepada orang tuanya berbicara menurut ajaran islam harus berbicara sopan, lemah lembut dan mempergunakan kata-kata mulia hal ini dituturkan dalam Firman Allah:  
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra’: 23-24)
Dari ayat-ayat tersebut, dapat di tarik kesimpulan bahwa sewajarnya seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tua baik berbicara dan yang lain- lain. Dengan cara tidak menyinggung perasaan orang tua dan tidak berkata kasar kepada mereka.
c.       Berbuat baik kepada Ibu dan atau Ayah yang sudah meninggal dunia
Apabila ibu dan ayah masih hidup, si anak berkewajiban berbuat baik, dan itu mudah dilakukan dengan berbagai macam cara, baik yang bersifat moaral, maupun yang bersifat material.
Bagaimana berbuat baik seorang anak kepada ayah dan atau ibunya yang sudah tiada. Hal ini agama islam mengajarkan supaya seorang anak:
a.      Mendoakan ayah ibu yang telah tiada itu dan memintakan ampun kepada Allah dari segala dosa orang tua kita. Doa yang sering di amalkan yakni:
اللَّهُمَّ اغْفِرْلىِ وَلِوَالِدَىَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا
b.      Menepati janji kedua ibu bapak, Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji kepada seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati janji tersebut. Umpamanya beliau akan naik haji, yang belum sampai melaksanakannya. Maka kewajiban anaknya untuk menunaikan haji untuk orang tuanya tersebut. Dan hal ini diperbolehkan menurut hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas:
اَنَّ امرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ اِلَى النَّبِى صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمِ فَقَالَتْ : اِنَّ اُمِّى نَذَرْتْ اِنَّ تَحَجَّ فَلَمْ تَحَجَّ حَتىَّ مَا تَتْ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا؟ قَالَ : نَعَمْ , حُجِّى عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوكَانَ عَلَى اُمِّكَ دَيْنٌ اَكَنْتِ قَا ضِيَهُ ؟ اُقْضُوا اللهَ فاللهُ اَحَقَّ بِالْوَفَاءِ
(رواه البخارى)
 “Bahwa seorang perempuan dari Juhainah dating kepada Nabi Saw, ia bertanya kepada Rasullah: Bahwasannya ibu saya telah bernazar untuk berhaji, tapi ia tidak haji sampai meninggal dunia. Apakah boleh saya menghajikannya? Jawab Rasullah:”ya, hajikanlah! Apakah kau tahu, kalau seandainya ibu mempunyai hutang, apakah engkau membayarkannya? Bayarkan (tepatilah) kepada Allah, sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditepati!” (HR. Bukhari)
c.       Memuliakan teman-teman kedua orang tua. Di waktu hidupnya ibu dan ayah, beliau-beliau mempunyai teman-teman akrab, yang segulung-segalang orang tua kita dengan temannya.

d.     Bersilaturrahmi kepada orang-orang yang mempunyai hubungan dengan kedua orang tua.

Admin: Muhammad Maftuhin
Editor: Muhammad Sutrisno S.Pd.I
Copyright: cafeilmubrilly.blogspot.com
Ingin beriklan Rp. 50.000,-/bulan? Hubungi 081515526665







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.