Guru Ideal Menurut QS 'Abasa: 1-16

https://cafeilmubrilly.blogspot.com/2014/10/guru-ideal-menurut-qs-abasa-1-16.html
Surat yang turun untuk menegur Rasulullah ketika beliau bermuka masam terhadap
seorang sahabat yang buta bernama Abdullah ibn Ummi Muktum. Dia adalah seorang
sahabat yang cacat yaitu matanya buta, namun terkenal sebagai sahabat yang
rajin belajar kepada Rasulullah dan banyak bertanya tentang wahyu dan berbagai
ajaran Islam.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika
Rasulullah sedang sibuk dan serius menghadapi dan mengajarkan Islam kepada
beberapa tokoh Quraisy yang diharapakan Rasul keislaman mereka. Sebab,
dalam perhitungan beliau jika tokoh-tokoh ini memeluk Islam diperkirakan akan
mempercepat perkembangan Islam di Jazirah Arab.
Di saat Rasulullah sedang
berbincang dan mengajarkan Islam kepada mereka, datanglah Abdullah ibn Ummi
Maktum menyela pembicaraan Rasulullah Dia meminta supaya diajarkan apa
yang telah diajarkan Allah kepada Rasulnya. Hal ini dilakukan berkali-kali
sehingga membuat Rasulullah merasa terusik dan jengkel. Hal itu kelihatan
dari raut muka beliau yang masam - walaupun tidak sampai menghardiknya- serta
mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum. Maka Allah menurunkan surat ‘Abasa
[80]: 1-16.
Adapun sikap guru yang semestinya
menurut ayat di atas adalah;
Pertama, Seorang guru tidak boleh memperlihatkan penampilan yang kurang responsif
terhadap muridnya, apalagi bermuka kusut dan masam. Sebesar apapun persoalan di
“luar sana” seorang guru tidak boleh membawanya ke dalam kelas apalagi
melampiaskannya terhadap murid. Kalaupun seorang murid melakukan hal yang
kurang berkenan, maka sedapat mungkin wajah atau air muka yang masam apalagi
dilingkupi kemarahan dan kebencian harus dihindari. Sebab, proses belajar dan
mengajar menuntut terciptanya hubungan batin dan emosional yang baik antara
guru dan murid. Jika ini tidak tercipta maka dipastikan ilmu tidak akan bisa
diberikan dengan sempurna atau murid tidak bisa menyerapnya dengan baik. Inilah
yang digambarkan dalam ayat 1-2 surat ‘Abasa. “Dia bermuka masam. Karena telah
datang kepadanya seorang yang buta”
Kedua, Seorang guru harus memberikan
penghargaan yang sama terhadap muridnya. Seorang guru tidak boleh membedakan
perlakuan dan perhatian terhadap murid-muridnya. Hal ini tergambar dari ayat
5-6, bahwa saat itu Rasulullah sangat serius menghadapi para pemuka Quraisy
sementara Abdullah ibn Ummi Maktum adalah seorang sahabat yang buta- walaupun
Rasulullah tidak pernah membedakan manusia- sehingga beliau sedikit
mengabaikannya. “Adapun orang yang merasa tidak
butuh (5) Maka engkau terhadapnya melayani (6).”
Dengan demikian, guru harus berlaku
sama terhadap seluruh muridnya, sehingga tidak ada di antara muridnya yang
merasa iri atau dengki kepada murid lain atau bahkan membenci gurunya karena
dinilai kurang adil kepada sesama mereka. Bila ini terjadi, maka dikhawatirkan
proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan bagus.
Ketiga, Seorang guru harus
mengajarkan hal-hal yang berguna bagi muridnya, baik untuk dunia maupun
akhirat. Seorang guru jangan mengajar sesuatu yang merugikan muridnya, apalagi
mengajarkan sesuatu yang akan mencelakakannya. Sebab, guru adalah “idola” kedua
bagi murid setelah orang tua mereka. Murid pasti meyakini bahwa yang diajarkan
gurunya adalah sesutau yang mesti diikuti. Itulah yang digambarkan dalam ayat
3-4 surat ‘Abasa.
وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى(3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ
الذِّكْرَى(4)
“Apakah yang menjadikanmu
mengetahui- boleh jadi ia ingin membersihkan diri (3) Atau mendapatkan
pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu (4).”
Keempat, Seorang guru tidak hanya
dituntut mengajarkan sesuatu yang berguna, tetapi juga yang berupaya membawa
mereka mengenal dan takut pada Tuhannya. Banyak ilmu yang bermanfaat, tetapi
malah semakin menjauhkan seseorang dari Tuhannya.
Oleh karena itu, tugas seorang guru
adalah bagaimana memadukan ilmu yang diajarkan kepada muridnya dengan akidah
yang mereka yakini sebagai kebenaran. Sehingga ilmu yang mereka pelajari tidak
hanya bertujuan untuk pengisi otak tetapi juga sebagai makanan hati, jiwa, atau
rohani. Yang pada akhirnya akan muncul generasi yang mampu memadukan antara
ilmu dan amal shalih. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat 8-9 surat ‘Abasa.
وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى(8)وَهُوَ
يَخْشَى(9)
“Dan adapun siapa yang datang
kepadamu dengan bersegera (8) Sedang ia takut”.
Penulis: Syofyan Hadi (hadi.syofyan@yahoo.com)
Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol
Padang
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.