Gawat, Masjid-Masjid Akan Jadi Mall di Seluruh Dunia
Mari sejenak kita renungi sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَحْلِقُوْنَ فيِ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا وَلَيْسَ ِللهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ تُجَاِلسُوْهُمْ”
“Akan datang suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka melingkar dalam masjid untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai kepentingan kecuali dunia dan tidak ada bagi Allah (Ta’ala) kepentingan apa pun pada mereka. Maka janganlah duduk bersama mereka.” (HR. Al-Hakim).
Akan datang suatu masa ketika masjid dijadikan tempat berkumpul untuk kepentingan dunia saja. Masjid riuh rendah, tapi bukan untuk mengingat-Nya. Masjid ramai, tapi kosong dari hidayah.
Ketika itu orang-orang berkumpul dalam jumlah sedikit atau pun sangat banyak, masing-masing dikenai iuran (apa pun istilah dan bentuknya) maupun tidak, tetapi segenap pembicaraan itu hanya untuk dunia, tentang memperkaya diri dan perniagaan. Tak ada kepentingan akhirat sedikit pun dari pembicaraan itu, meski agama ini mungkin akan disebut-sebut dalam pembicaraan. Masjid semarak, tapi tiada barakahnya.
Suatu saat bahkan mungkin akan ada yang memanfaatkan mihrab masjid untuk menggelar spanduk promosi. Bukan untuk memberi peringatan taqwa. Dan mimbar-mimbar pun berubah menjadi tempat menawarkan dagangan dan melakukan perniagaan.
Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil dalam kitabnya Asyratus Sa’ah menyebutkan bahwa salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya sikap meremehkan sunnah-sunnah yang dianjurkan Islam dan Syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta'ala. Salah satunya adalah tidak melaksanakan tahiyatul masjid saat memasukinya, sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku Mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَمُرَّ الرَّجُلُ فِي الْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah seseorang melalui (masuk) masjid, namun tidak melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Syaikh Al-Albani memasukkan hadits ini dalam Silsilah al-Ahadits al Shahihah: 2/253 no. 649 dengan memberikan catatan kaki di bawahnya bahwa dalam sanadnya ada yang dhaif, tapi ia memiliki jalur lain dari Ibnu Mas’ud yang memperkuat sanadnya).
Dan dalam riwayat lain disebutkan;
أَنْ يَجْتَازَ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ فَلَا يُصَلِّي فِيْهِ
“Orang melalui masjid tapi tidak melakukan shalat di dalamnya.” (HR. Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid: 7/329)
Dan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُتَّخَذَ المَسَاجِدُ طُرُقًا
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah masjid dijadikan sebagai jalan (tempat berlalu lalang).” (HR. Musnad al-Thayalisi dan Al-Mustadrak al-Hakim. Syaikh Al-Albani menghasankan redaksi serupa dalam Shahih Al-Jami’ no. 5899)
Bahkan secara jelas Nabi shallallahu 'alaihi wasallammelarang menjadikan masjid sebagai tempat lalu lalang tanpa ditegakkan shalat tahiyatul masjid ketika memasukinya.
لَا تَتَّخِذُوا المَسَاجِدَ طُرُقًا ، إِلَّا لِذِكْرٍ أَوْ صَلَاةٍ
“Janganlah kalian jadikan masjid sebagai jalan (tempat lewat), kecuali untuk berdzikir atau shalat.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir: 12/314 dan al-Ausath: 1/14. Syaikh Al-Albani rahimahullaah mengatakan, “Sanad ini hasan, seluruh rijalnya (perawinya) tsiqat (terpercaya).” Lihat: Silsilah Shahihah no. 1001)
Sedangkan maksud menjadikan masjid sebagai jalan adalah dengan menjadikannya sebagai tempat lewat atau berlalunya manusia untuk memenuhi hajat mereka. Masuk dari satu pintu masjid dan keluar dari pintu lainnya tanpa melaksanakan shalat di dalamnya. Sedangkan orang yang masuk masjid dan shalat di dalamnya tidak dikategorikan sebagai orang yang menjadikan masjid sebagai tempat lalu lalang yang dilarang.
Al-Hasan al-Bashri ternah ditanya, “Tidakkah Anda benci kalau ada seseorang lewat di dalam masjid lalu tidak shalat di dalamnya? Beliau menjawab, “Pasti (saya benci).” (Lihat al-Mushannaf milik Abdul Razaq: 3/154-158)
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.