Nikmat Itu Cuma Lewat
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2014/06/nikmat-itu-cuma-lewat.html
Secepat
mungkin dan sesering mungkin kita patut benar-benar menyadari nikmat itu tidak
akan terus melekat kepada diri kita. Kadang melekat kepada Ahmad, kadang
melekat kepada Mahmud, kadang melekat kepada Hamid, kadang melekat kepada
Fathimah, Khadijah, Aisyah dan lain. Sederhananya, hidup cuma mampir. Bukan
begitu? Halah, siapa sih yang bisa terus-terusan terjamin bisa setiap hari
enak-enakan dengan berbagai hal yang memanjakan? Yakin deh, pasti nikmat itu
akan berpindah-pindah kepada siapa saja yang siap mengemban tanggung jawabnya.
Tanggung jawab apa? Mengalokasikannya untuk kepentingan Islam dan kaum
muslimin. Dunia ini amanah. Ya itulah amanahnya. Kita siap tidak melaksanakan
amanah Allah berupa harta dengan jalan menggunakan harta untuk kemashlahatan
agama dan sesama?
Kenapa begitu?
Pertanyaannya keliru. Siap tidak? Kalau tidak siap, ya siap-siap saja nikmat
yang selama ini ada akan segera berpindah walaupun tidak pakai notaris yang
meresmikan dan meskipun kita tidak menyadarinya. Perpindahan nikmat itu tidak
selalu dalam bentuk kontan dan konkrit. Tahun ini kita yang sedang menjabat
jadi direktur, lha tahun depan, orang lain yang jadi direktur. Tahun ini kita
bisa naik mobil mewah, lha tahun depan, petani sawah yang giliran ketiban mobil
mewah. Tahun ini perusahaan kita sedang jaya-jayanya, lha tahun depan,
perusahaan tetangga yang kebanjiran order.
Tadi kalau
ditanya kenapa begitu? Kenapa sepertinya Allah yang katanya Maha Adil kok
bertindak sewenang-wenang? Lha ya begitu memangnya. Allah itu laa yus`alu ‘amma
yaf’alu wa hum yus`aluun. Allah itu tidak patut ditanya-tanya soal kenapa
berbuat begini kenapa berbuat begitu, yang harusnya ditanya adalah kita! Kenapa
kita berbuat begini, kenapa berbuat begitu? Allah itu fa’’aalun limaa yuriid.
Allah itu berbuat apa saja semauNya. Mau kenapa? Protes? Silakan saja! Mau
protes dimana? Memangnya kita punya kuasa apa? Yang punya dunia Allah, yang
punya kita Allah, yang punya harta Allah, yang punya semesta Allah. Terus mau
apa? Terus mau bagaimana? Suka-suka Allah dong. Hehe, bahasanya begitu.
Iya kali, kita
bisa bicara begini karena kebetulan lagi enak-enaknya dibalut kenikmatan dunia.
Coba pas sedang susah, pasti bagaimana begitu jadinya, berat sekali, seperti
tidak ridha. Ya iya lah, pas ada masalah pasti jadi rewel dan bawel.
Kelihatannya Allah itu salah saja. Tidak ada keputusannya yang benar. Padahal
musibah itu kan tidak mungkin ya seumur hidup? Kita sebagai manusia mau bagaimana
lagi coba? Memang begitu. Kita ada, Allah yang mengadakan. Harta ada, Allah
yang mengadakan. Kita punya saham dimana hayo? Memangnya sebelumnya kita sudah
investasi ke Allah? Sudah memberi DP? DP dari mana, kita punya harta juga baru
saja.
Dari Ibnu
‘Umar, Rasul bersabda,
المعجم الأوسط (5/ 228)
«إِنَّ لِلَّهِ عَبَّادًا
اخْتَصَّهُمْ بِالنِّعَمِ لِمَنَافِعِ الْعِبَادِ، يُقِرُّهُمْ فِيهَا مَا بَذَلُوهَا،
فَإِذَا مَنَعُوهَا نَزَعَهَا مِنْهُمْ، فَحَوَّلَهَا إِلَى غَيْرِهِمْ»
“Sesungguhnya
Allah punya beberapa hamba yang Dia pilih mereka dengan kenikmatan. Ya biar
mereka bisa memberi manfaat kepada sesama. Allah tetapkan nikmat itu buat
mereka sepanjang mereka pakai (memberi manfaat kepada sesama). Nah kalau mereka
malah menolak (memberi manfaat kepada sesama dengan nikmat tersebut), dicabut
deh sama Allah, terus dipindah ke selain mereka.” [Al-Mu’jam Al-Ausath Ath-Thabrani
no. 5162]
Dari Ibnu
‘Abbas, Nabi bersabda,
المعجم الأوسط (7/ 292)
«مَا مِنْ عَبْدٍ أَنْعَمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ نِعْمَةً فَأَسْبَغَهَا عَلَيْهِ، ثُمَّ جَعَلَ شَيْئًا مِنْ حَوَائِجِ
النَّاسِ إِلَيْهِ فَتَبَرَّمَ، فَقَدْ عَرَّضَ تِلْكَ النِّعْمَةَ للزَّوَالِ»
“Tidaklah
seorang hamba diberi nikmat sama Allah, terus Allah sempurnakan nikmat tersebut
untuknya, dia pakai buat memenuhi keperluan-keperluan manusia, eh tapi kok dia
bosen dan mengeluh, benar-benar dia sendiri lah yang menjadikan nikmat itu
hilang.” [Al-Mu’jam Al-Ausath Ath-Thabrani no. 7529. Shahih At-Targhib wa
At-Tarhib no. 2618]
Dari Jabir bin
‘Abdillah, Rasulullah bersabda,
«مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ
يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ»
“Siapa yang
mampu memberi manfaat saudaranya, lakukan!” [Shahih Muslim no. 5857]
Dari Abu
Umamah Udayyi bin Ajlan, Nabi Muhammad bersabda,
«يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ
أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ، وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ، وَلَا تُلَامُ
عَلَى كَفَافٍ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ
السُّفْلَى»
“Wahai
keturunan Adam, sebetulnya jika kamu memberikan apa yang berlebih dari dirimu,
itu baik, jika kamu menahannya, itu buruk. Kamu tidak akan tercela gara-gara
mengambil sebatas buat memenuhi kebutuhan. Mulailah beri orang yang jadi
tanggung jawabmu! Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.” [Shahih
Muslim no. 2435]
Mungkin saja
ada yang tunjuk jari, “Saya tidak punya nikmat (karunia) berupa harta. Saya
punya nikmat (karunia) berupa ilmu. Apa tetap wajib berbagi biarpun cuma ilmu?” Lho ya jelas itu, malahan ilmu itu
sebaik-baik warisan dan semulia-mulia pemberian, biarpun banyak orang yang masa
bodoh terus manyun, “Ya ampun, kita butuh nasi, butuh lauk, butuh air, butuh
baju, butuh tempat tinggal, kok malah diajari ngaji.” Hehehe, sabar ya!
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.