Ujub Yang Paling Bahaya
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2014/06/ujub-yang-paling-bahaya.html
Oleh Brilly El-Rasheed
Satu dosa yang paling menjebak adalah ujub. Ujub mendorong untuk menjadikan diri sendiri sebagai tolok ukur kesuksesan, kemuliaan, kebaikan. Dia akan memusuhi dan membenci, setiap orang yang tidak berbuat seperti yang diinginkannya. Dalam hematnya, dirinya sudah benar, orang lain salah besar. Frekuensi kata tertinggi yang dilontarkannya adalah, “Saya.”
Satu dosa yang paling menjebak adalah ujub. Ujub mendorong untuk menjadikan diri sendiri sebagai tolok ukur kesuksesan, kemuliaan, kebaikan. Dia akan memusuhi dan membenci, setiap orang yang tidak berbuat seperti yang diinginkannya. Dalam hematnya, dirinya sudah benar, orang lain salah besar. Frekuensi kata tertinggi yang dilontarkannya adalah, “Saya.”
Nabi Muhammad berkata,
ثَلاَثُ مُنْجِيَاتٍ: خَشْيَةُ اللهِ تَعَالَى فِيْ السِّرِّ
وَالْعَلاَنِيَةِ وَالْعَدْلُ فِيْ الرِّضَا وَالْغَضَبِ وَاْلقَصْدُ فِيْ
اْلفَقْرِ وَالْغِنَى وَثَلَاثُ مُهْلِكَاتٍ: هَوَى مُتَّبَعٌ وَشُحٌّ مُطَاعٌ
وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga hal yang menyelamatkan: Takut kepada Allah ta’ala
dalam kondisi rahasia maupun terang-terangan; Bersikap adil ketika ridha maupun
marah; Dan bersikap pertengahan (tidak boros dan tidak pelit) ketika fakir
ataupun ketika kaya. Tiga hal yang membinasakan: Hawa yang diikuti; Kikir yang
dituruti; Kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri.” [Hasan: Shahih
Al-Jami’ no. 3039; Ash-Shahihah no.
1802]
Faktor pemicu ujub antara lain
adalah terlalu berlebihan dalam bermuhasabah dimana dia terjerumus ke dalam
sikap bangga bahwa dirinya telah banyak beramal shalih dan berlebihan dalam
bersyukur atas keberhasilan berbuat kebaikan. Yang paling banyak diingatnya
adalah hadits,
مَنْ
سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
“Barangsiapa kebaikannya menggembirakannya dan
keburukannya menyedihkannya, maka dialah orang mu`min.” [Sunan At-Tirmidzi no.
2318]
Faktor lain adalah dia terlalu
berlebihan dalam keinginannya untuk meneladankan kebaikan. Meneladankan
kebaikan atau mengajarkan kebaikan dalam bentuk sikap riil memang bentuk dakwah
yang efektif. Sayangnya orang yang terjangkit ujub ini ingin agar seluruh
gerak-geriknya dijadikan sumber ilmu bagi orang lain.
Dalam hal ini dia telah mensucikan
dirinya sendiri, sebab dalam qalbu telah terpatri dengan kuat keyakinan bahwa
dirinya telah berada di puncak keutamaan sehingga dia merasa orang lain patut
untuk mencontoh kebaikan darinya. Rasulullah dengan
tegas bersabda,
لَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ
الْبِرِّ مِنْكُمْ
“Jangan mensucikan diri kalian, Allah lebih tahu tentang
orang yang ahli kebaikan di antara kalian.” [Shahih Muslim no. 3992; Sunan Abu
Dawud no. 4302. Ash-Shahihah no. 210; Shahih Al-Jami’ no. 7297]
Kondisi ini jauh berbeda dengan para
salaf dahulu. Keshalihan mereka terekam hingga kini bukan atas usaha mereka
mempromosikan diri, melainkan dipromosikan oleh orang lain. Para salaf lebih
banyak menyembunyikan keshalihan mereka karena takut tidak bisa ikhlash.
Rekaman jejak keshalihan mereka ada
hingga sekarang adalah bukan karena keinginan mereka, tapi orang lain-lah yang
ingin agar generasi khalaf dapat belajar dari mereka. Kalaupun mereka
melontarkan kata-kata sarat hikmah, itu murni dari ketulusan qalbu, tanpa
rekayasa sedikitpun, dan didorong keinginan melestarikan kebaikan. Dan jarang
sekali mereka menjadikan diri sebagai poros ucapan mereka.
Maka sudah saatnya kita mengoreksi
diri, benarkah niat kita dalam menampakkan kebaikan itu murni untuk
keteladanan? Ataukah untuk popularitas? Atau pula agar tetap diterima oleh
orang-orang dekat? Biasanya, ketika ahli ujub sudah tidak diterima
lingkungannya, dia akan mencari kambing hitam. Pada taraf paling parah, dia
akan mempersalahkan semua orang, dan ujubnya pun semakin menggerogoti qalbunya.
Karenanya, dalam masalah ini Rasulullah telah memberikan nasehat agung dan
sarat nilai keteduhan jiwa, beliau bersabda,
لاَ تعْجبُوْا بِعَمَل أَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوْا بِمَا
يخْتمُ لَهُ ، فَإِنَّ الْعَامِلَ يَعْمَلُ زَمَانًا مِنْ دَهْرِهِ، أَوْ برهة
مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ صَالِحٍ لَوْ مَاتَ ( عَلَيْهِ ) دَخَلَ الْجَنَّةَ، ثُمَّ
يَتَحَوَّلَ فَيَعْمَلُ عَمَلاً سَيِّئًا، وَ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ زَمَانًا مِنْ
دَهْرِهِ بِعَمَلٍ سَيِّىءٍ لَوْ مَاتَ ( عَلَيْهِ ) دَخَلَ النَّارَ، ثُمَّ يَتَحَوَّلَ
فَيَعْمَلُ عَمَلاً صَالِحًا، وَ إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرً
اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ فَوَفَقَهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ، ( ثُمَّ يَقْبِضُهُ
عَلَيْهِ )
“Janganlah
kalian merasa takjub dengan amal seseorang, hingga kalian melihat bagaimana
hidupnya berakhir. Karena ada hamba yang beramal sepanjang usianya, atau
sebagian usianya dengan amal shalih yang seandainya dia mati dalam keadaan
demikian maka dia masuk surga, namun ternyata kondisi berbalik kemudian dia
beramal buruk. Dan sesungguhnya hamba benar-benar beramal dalam seluruh usianya
dengan amal keburukan yang seandainya dia mati dalam keadaan demikian maka dia
masuk neraka, namun kemudian kondisi berbalik dan dia pun beramal shalih. Dan
jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia menjadikannya
beramal sebelum kematiannya dan membimbingnya untuk beramal shalih, kemudian
nyawanya dicabut dalam keadaan demikian.” [Shahih: Musnad Ahmad no. 12235. Ash-Shahihah
no. 1334; Shahih Al-Jami’ no.
7366]
Admin: Abu Yahya
Admin: Abu Yahya
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.