Diam Itu Emas
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2014/06/diam-itu-emas.html
Oleh Brilly El-Rasheed
Lisan begitu ringan melontarkan perkataan. Sering kita keceplosan mengatakan suatu ucapan yang menyakitkan perasaan. Tidak jarang pula kita lontarkan ungkapan yang mengandung kesyirikan dan kekufuran. Dan yang biasa kita luput darinya adalah mengeluarkan pernyataan yang tidak berguna dan bukan urusan kita.
Lisan begitu ringan melontarkan perkataan. Sering kita keceplosan mengatakan suatu ucapan yang menyakitkan perasaan. Tidak jarang pula kita lontarkan ungkapan yang mengandung kesyirikan dan kekufuran. Dan yang biasa kita luput darinya adalah mengeluarkan pernyataan yang tidak berguna dan bukan urusan kita.
Romantika manajemen lisan memang gampang-gampang
susah. Akan tetapi, merupakan karakter seorang insan beriman, sanggup menjaga
iman beserta baiknya lisan. Manusia yang mu`min akan berjuang keras untuk
mempertahankan kestabilan imannya dan berusaha menjaga lisannya. Hal itu telah
diisyaratkan oleh Rasulullah,
وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah dia berkata baik atau diam.” [Al-Bukhari no. 6018, 6136, 6475;
Muslim no. 47; Abu Dawud no. 5154; At-Tirmidzi no. 2500. Lihat pula hadits
senada dalam Shahih Al-Jami’ no. 6500, 6501]
Secara implisit, Rasulullah ingin menyampaikan
bahwasanya orang-orang yang beriman memiliki ciri khas istimewa yaitu tidaklah
terucap dari lisannya kecuali kata-kata yang berkualitas tinggi, yang penuh
manfaat, dan jauh dari maksiat. Bila dirasa tidak berfaidah, lisannya akan dia
cegah.
Ibnu Hajar menerangkan, “Menjaga
lisan adalah tidak berbicara dengan kata-kata yang dilarang syariah.” [Fat-h
Al-Bari 11/308] An-Nawawi menguraikan, “Hendaknya seseorang yang ingin
berbicara merenungkan apa yang hendak diucapkannya terlebih dahulu di dalam qalbunya
sebelum ia mengucapkannya. Jika ada mashlahatnya, ia boleh bicara, tetapi jika
tidak, hendaknya ia diam.” [Al-Minhaj 18/328]
Jadi diam adalah emas, berbicara
yang baik adalah mutiara. Kalau tidak bisa meraih mutiara tidak mengapa hanya
beroleh emas, daripada malah mendapatkan kayu bakar akibat ghibah, namimah,
dusta, sumpah palsu, sum’ah, fitnah, mencaci maki, memuji diri, menghina,
nadzar maksiat, fatwa tanpa ilmu, menuduh, mengolok-olok, berdoa keburukan, memuji
selain Allah secara berlebihan, beramar ma’ruf nahi munkar tapi malah tidak
mempraktekannya, dan sebagainya.
Mengapa lisan sedemikian erat
dihubungkan oleh Rasulullah dengan iman kepada Allah dan hari akhir? Pasalnya,
bila seseorang itu percaya bahwa Allah akan membalas segala yang keluar dari
lisan dan yang diperbuat oleh anggota badan pada hari qiyamah, yang akan
berdampak bagi keberlangsungan hidup di akhirat, sudah barang tentu orang itu
akan berusaha sebaik mungkin untuk berkata baik, dan tatkala merasa tidak bisa,
maka dia akan diam.
Orang itu yakin jika lisan
melontarkan ucapan-ucapan yang tidak baik, di akhirat akan diberikan siksaan
yang setimpal. Orang itu sadar bahwa lisan adalah amanah, yang semestinya hanya
mengucapkan kalimah thayyibah dan digunakan hanya untuk beribadah. Orang itu
ingat akan peringatan dari Rasulullah,
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ
آدَمَ فِيْ لِسَانِهِ
“Sesungguhnya kesalahan anak Adam yang paling banyak
adalah terletak pada lisannya.” [Shahih: Ash-Shahihah no. 534]
Karenanya Nabi menjanjikan, “Barangsiapa
menjamin untukku apa yang ada di antara dua rambut wajahnya dan apa yang ada di
antara kedua kakinya, aku jamin surga untuknya.” [Al-Bukhari no. 6474]
Admin: Abu Yahya
Admin: Abu Yahya
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.