Guru Ideal Menurut QS Al Kahf: 60-82
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2014/10/guru-ideal-menurut-qs-al-kahf-60-82.html
Pertama, Seorang guru hendaklah
orang yang tidak hanya mamapu memahami fenomena, tetapi juga mamapu memahami
nomena. Seorang guru bukan hanya bisa memahami yang tanpak nyata, namun juga
mampu memahami sebab di balik yang tanpak itu. Dengan bahasa lain, seorang yang
ideal adalah orang yang memiliki kebijaksanaan, di mana dia mampu mencari akar
sebuah permasalahan. Itulah sebabnya, nabi Musa di suruh berguru kepada nabi
Khidr, karena Khidr memiliki kebijaksanaan. Dia mampu melihat fenomena dan juga
mampu memahami nomena serta penyebab munculnya fenomena tersebut. Itulahg kesan
yang di didapatkan dari ciri guru yang ditemukan nabi Musa as. seperti yang
terdapat pada ayat 65
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا
ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا(65)
“Lalu mereka bertemu dengan seorang
hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari
sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.
Nabi Khidr di pilih menjadi guru
bagi nabi Musa, karena dia memiliki ilmu untuk memahami yang tanpak (‘indina)
sekaligus memiliki ilmu untuk memahami di balik kenyataan (ladunna). Oleh
karena itu, jika ditemukan seorang murid yang nakal dan bandel, maka guru yang
ideal bukan hanya sekedar mampu menunjukan kenakalannya, akan tetapi juga mampu
menemukan penyebab kenakalan itu.
Kedua, Seorang guru harus memahami
kondisi muridnya, sehingga dia tidak bersikap arogan atau memaksakan kehendak
kepada muridnya. Guru juga harus mengetahui kemampuan intelektual murid. Itulah
kesan yang diperoleh dari ungkapan Khidr pada ayat 67-68,
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ
صَبْرًا(67)وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا(68)
“Dia menjawab: "Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (67). Dan bagaimana kamu
dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang hal itu?"(68).
Ketika nabi Musa mengajukan
keinginannya untuk belajar dan mengukiti nabi Khidr as, dia persis tahu bahwa
nabi Musa tidak akan sanggup mengikutinya. Dia tahu bahwa nabi Musa adalah
seorang yang keras dan emosional serta orang yang paling tidak bisa bersabar.
Dan hal itu dipahami oleh nabi Khidr sebagai guru dengan baik.
Begitulah sikap seorang guru dalam
mengajar, hendaklah mereka mengetahui sikap, karakter serta kepribadian peserta
didiknya dengan baik. Agar para guru dapat memberikan materi dan metode yang
benar dalam menjalankan proses belajar dan mengajar.
Kedua, Seorang guru harus selalu
bersabar dan berlapang dada menghadapi muridnya serta memberi ma’af atas
kesalahannya. Karena, dalam proses belajar dan mengajar seorang guru pasti
menemukan banyak hal yang tidak menyenangkan dari muridnya, apakah ucapan,
perbutan, sikap dan sebagainya.
Di sinilah kesabaran seorang guru
dituntut agar proses belajar dan megajar tetap berjalan dengan baik. Sehingga,
seorang guru tidak menyikapi kelakuan muridnya dengan marah dan emosi atau
mengabaikan muridnya begitu saja. Begitulah kesan yang diperoleh dari sikap
Khidr yang selalu bersabar menghadapi kesalahan Musa as. dan selalu memberikan
ma’af dan kesempatan untuk terus mengikutinya, walaupun nabi Musa telah
melanggar aturan yang telah mereka sepakati beberapa kali.
Ketiga, Seorang guru memang dituntut
untuk selalu menegur setiap kali muridnya berbuat salah. Akan tetapi, teguran
haruslah sebijaksana mungkin dan dengan kata-kata yang mendidik serta
menyentuh. Seperti Khidr yang menegur Musa dengan kalimat tanya, bukan kalimat
yang terkesan melecehkan atau mempersalahkan, namun justru ahkirnya sang murid
mengakui kesalahannya sendiri. Dan jika murid tetap melakukan kesalahan yang
sama, maka guru semestinya mengambil tindakan yang tegas, bahkan kalau perlu
memberikan sanksi. Hal ini bertujuan agar sang murid menyadari kesalahannya dan
mengambil pelajaran dari padanya serta tidak melakukan kesalahan yang sama untuk
masa mendatang.
Tentu saja pemberian sanksi oleh
guru haruslah dengan pertimbangan yang matang dan jika memang hal itu dianggap
perlu untuk dilakukan, demi kebaikan seorang murid. Begitulah kesan yang
diperoleh dari ayat 72, 75 dan 78.
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ
تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(72) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ
تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(75) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ
سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(78)
“Dia (Khidhr) berkata:
"Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak
akan sabar bersama dengan aku (72). Khidhr berkata: "Bukankah sudah
kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar
bersamaku?"(75). “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan
kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya.”(78)
Kempat, Seorang guru tidak hanya
bisa menegur dan memarahi bahkan memberi sanksi terhadap kesalahan murid. Akan
tetapi, juga ditunut mampu memberikan penjelasan terhadap kesalahan dan
kekeliruan muridnya. Hal ini bertujuan agar seorang murid mengetahui dan
menyadari serta tidak mengulanginya pada masa berikutnya. Sehingga, seorang
guru diharapkan tidak hanya bisa memarahi dan memberikan sanksi kepada
muridnya, namun juga membetulkan kesalahan tersebut. Begitulah kesan yang
didapatkan dari ayat 79-82.
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ
لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا(79)وَأَمَّا الْغُلَامُ
فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا
وَكُفْرًا(80)فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً
وَأَقْرَبَ رُحْمًا(81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ
فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا
رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ
تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(82)
Khidhr berkata:
"Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
(78). Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di
laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada
seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera (79). Dan adapun anak muda itu,
maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan
mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran (80). Dan kami
menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang
lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada
ibu bapaknya) (81). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim
di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,
sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat
dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.
Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya (82).”
Penulis: Syofyan Hadi (hadi.syofyan@yahoo.com)
Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol
Padang
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.