Renungan Kematian: Menunggu Giliran
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2014/10/renungan-kematian-menunggu-giliran.html
Anda tentu selalu
teringat saat-saat Anda berada di ruang tunggu rumah sakit atau sejenisnya,
saat Anda menunggu giliran dipanggil...
Saat itu segala wujud
kebosanan tumpah ruah di satu waktu, Anda cicipi bersama keheningan. Teman mengobrol
pun selalu dipandang menjemukan. Makanan ringan dan minuman kaleng hanya mampu
membuat Anda sekadar me-nikmati kebuntuan dengan nada-nada yang sedikit
sumbang. ‘Tak ada yang lebih menyebalkan dari pekerjaan menunggu dan menunggu,’
itu rumus bagi bagi orang yang malas menjalani antrian.
Tapi, bosankah kita
menunggu antrian kematian?
Maaf, saya tak
berniat menakut-nakuti Anda. Karena sesungguhnya perjalanan hidup ini sangat
mirip dengan antrian di rumah sakit itu. Kita juga sedang menunggu panggilan.
Panggilan menuju kematian.
“Jika Allah
menghukum manusia karena kezhalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkanNya di
muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan
mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang
ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat
pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. An-Nahl: 61)
“Dan kalau
sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan
meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun, akan tetapi
Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka
apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat
(keadaan) hamba-hambaNya.” (QS. Fathir: 45)
“Dan belanjakanlah
sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian
kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, "Ya Tuhanku, mengapa
Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang
menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?"
(QS. Al-Munafiqun: 10)
Kita lebih layak
untuk tidak sabar menunggu giliran kematian. Karena hidup ini hanya tempat
kuda-kuda kita ber-istirahat sejenak, menikmati air seteguk atau dua teguk dari
kolam air yang tersedia, untuk kemudian melanjutkan perjala-nan menuju mati,
dan menuju kehidupan di sebaliknya.
Seharusnya, kita
bergegas mengemas segala kebutuhan kita di hari Akhir nanti dan terlihat kurang
memedulikan segala hal yang kita peroleh di dunia, kecuali sebatas yang mungkin
digunakan sebagai perbekalan Akhirat. Di barisan antrian ini, kita tidak layak
terlalu banyak bermain-main, bersendagurau atau menghabiskan waktu dan tenaga
secara percuma, untuk kemudian mendapati giliran kita dalam kondisi tubuh dan
jiwa yang sangat mengenaskan.
Saat 'nama' kita
dipanggil, hati kita tentu bergetar. 'Inikah giliran saya?'
Nama itu ternyata
hanya nama orang lain yang mirip dengan kita. Kemarin, orang-orang seusia kita
sudah banyak yang menjemput gilirannya. Beberapa waktu lalu, orang yang bahkan
jauh lebih muda dari kita juga sudah mendapat gilirannya. Lalu bertanyalah
kepada diri kita,
'Di mana Anda sedang
berada sekarang?
Di masjid, di
perpustakaan, di rumah, di bioskop, di tempat bermain-main, di lembah maksiat,
atau di mana?
Di mana kira-kira
Anda merasa siap untuk dipanggil saat giliran Anda sudah tiba?'
Pertanyaan itu layak
selalu didengung-dengungkan di benak kita, karena giliran kematian tak
memberikan jangka waktu yang kita ketahui, tidak selalu 'urut kacang', tidak
senantiasa 'urut usia', bahkan sangat acak, bukan sesuai dengan apapun yang ada
pada kita, apalagi sekadar kehendak kita. Karena semua itu ditentukan oleh Yang
Maha Kuasa. Kita hanya hamba yang berharap
mendapatkan giliran kita, dalam kondisi pasrah terhadap kebenaran, bukan dalam
kondisi sedang bermaksiat, maupun sedang ingkar terhadap hukum-hukumNya....
Dikutip dari buku Mati Tersenyum Esok Pagi, PT. EFMS, Surabaya, Jawa Timur. Dapatkan bukunya dan bersiaplah menuju gerbang akhirat.
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.