Budaya Lupa
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2014/09/budaya-lupa.html
Budaya lupa ternyata sudah berumur sangat tua, setua usia
kehidupan umat manusia itu sendiri. Diawali dengan 'kelupaan Adam' terhadap
pesan Rabbnya, "Dan(Allah berfirman):"Hai Adam bertempat tinggallah
kamu dan istrimu di jannah serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) dimana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu
menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zhalim". Maka syaitan
membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa
yang tertutup dari mereka yaitu auratnya...." (QS. Al-A'raaf : 19-20)
Allah memberikan kebebasan kepada Adam j dan istrinya,
Hawa, untuk menikmati segala keindahan dan kelezatan Surgawi, dengan catatan
kecil saja: jangan mereka mendekati
pohon terlarang itu. Tapi Adam terbujuk rayuan setan. Dan saat itulah untuk
pertama kali pesan Allah dilupakan oleh manusia. Adam mendekati pohon larangan
itu, dan mencicipi buahnya. Sehingga, terjadilah apa yang sudah terjadi. Adam terusir dari Surga bersama istrinya, dan harus tinggal menetap di bumi ini.
Kemudian Allah mulai menurunkan ajaranNya. Adam diang-kat
menjadi Nabi. Ajaran tauhidpun menjadi dasar keyakinan umat manusia, hingga
Adam wafat. Lalu, seiring berjalannya waktu, ajaran itu sedikit demi sedikit
mulai terlupakan. Menjelang diutusnya Nabi Nuh -menurut sebagian Ahli Sejarah
Nabi Idris-, umat manusia kala itu sudah akrab dengan budaya kemusyrikan.
Ok, kita tidak sedang berbicara tentang sejarah atau
perkembangan ilmu tauhid. Ini hanya sekadar untuk menegaskan, bahwa budaya lupa
itu sudah cukup tua. Diusirnya Adam j ke bumi ini dari kehidupan Surga yang
begitu penuh kenikmatan adalah hukuman atas peristiwa lupanya manusia terhadap
peringatan Rabbnya. Diutusnya para Nabi, seperti Nuh, Idris dan Nabi-Nabi
sesudahnya, juga merupakan tindakan antisipasi bahkan juga solusi terhadap
kemungkinan dan juga realitas umat manusia yang sudah mulai melupakan ajaran
Rabb mereka. Semua itu membuktikan bahwa kelupaan-kelupaan itu telah banyak
menyengsarakan manusia, dan Allah tak pernah membiarkan semua itu terjadi,
tanpa dicegah atau diberi sangsi. Terutama sekali, ketika kelupaan itu
menyebabkan terjadinya banyak kerusakan pada pribadi dan masyarakat, terhadap
diri seseorang secara pribadi atau terhadap agamanya.
Saat semua kita menyadari betapa kebiasaan lupa itu adalah 'kelemahan', dan di sisi lain adalah kelengahan, tentu terbetik dalam diri kita untuk berupaya melepaskan diri dari kebiasaan buruk itu. Betapapun hal itu sulit, dan betapapun banyak di antara kita yang sudah merasa nyaman menjadi pelupa.
Toh nilai kenyamanan itu tak sebanding dengan berbagai kerugian
yang pasti akan kita pikul, bila si 'lupa', dibiarkan menjamur dalam memori
kita. Sedikit atau banyak, penyakit lupa
itu akan membuat semacam bad sector
dalam memori besar di otak kita, yang seharusnya menjadi tempat bersemayamnya
banyak catatan-catatan penting dan data-data penuh makna yang sangat kita
perlukan dalam menjalani hidup.
Untuk tidak lupa, kita harus senantiasa ingat. Namun
untuk ingat itu sendiri kita seringkali lupa. Membiasakan diri untuk tidak lupa,
ternyata memuat ragam seni perjuangan yang nyaris tak pernah dibayangkan oleh
mereka yang tak pernah mengalaminya. Ingat dan lupa, dalam banyak sisi mirip
dengan berjalan dan berhenti, bernapas dan menahan napas. Kita memang harus
menghindari lupa terhadap banyak kepentingan kita. Kita tak boleh lupa makan,
lupa mandi, lupa bekerja, lupa beribadah, lupa memperhatikan kebutuhan jasmani
dan rahani kita, dan lupa terhadap berbagai hal yang menjadi kebutuhan dunia
dan akhirat kita. Tapi terkadang kita juga harus memaksa diri untuk lupa
terhadap berbagai kejadian yang pernah membuat kita takut, terhadap kematian
anak kita, terhadap bencana yang pernah menimpa kita. Sementara berbagai
bencana dan hal-hal menakutkan itu, tetap saja mengandung banyak sisi yang harus
diingat-ingat. Bila tidak, kita tak akan mampu mengambil pelajaran dari setiap
peristiwa yang terjadi, setiap musibah yang menimpa kita. Sehingga antara ingat
dan lupa, ada keterkaitan dan keharmonisan yang tetap harus dijaga. Menghindari
lupa dan segala bahayanya, memiliki seni ter-sendiri yang jauh berbeda dengan
kiat-kiat menghindari berbagai bentuk kesalahan, dosa atau maksiat biasa.
Cobalah membayangkan sulitnya mengingat-ingat kebaikan, keutamaan dan hikmah dari banyak hal yang seharusnya justru dilupakan. Ibarat mengutipi serpihan besi dari hasil ledakan bom dahsyat dalam kancah peperangan hebat, di mana antara usaha menghindari bahaya dengan mengutipi manfaat berjalan secara bersamaan. Namun itulah seni hidup, dan di situlah terletak keindahan ibadah.
Selalu ada usaha yang ditahan-tahan agar tidak kebablasan.
Dan selalu ada niat dan ambisi yang disesak keluar dari lubuk hati, agar
membuahkan hasil yang nyata. Menyukai sesuatu, tak boleh berlebihan. Berinfaq,
bersedekah dan memberipun tak boleh melebihi batas kelayakan. "Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal." (QS.
Al-Isra : 29)
Tanpa bermaksud berdemostrasi dan melakukan provokasi
besar-besaran agar selamanya kita tidak lupa. Tapi untuk sekadar menebar
kesadaran bahwa kebanyakan 'lupa' itu sungguh berbahaya, dan kebanyakan kita
secara fitrah juga berusaha untuk selalu tidak lupa. Tapi ada sisi-sisi
tertentu dalam hidup ini justru yang harus dilupakan. Yakni sisi-sisi gelap dan
beberapa jenis kericuhan yang bila diingat-ingat seutuhnya justru akan
mengendap-kan derita dalam diri kita. Untuk itu kita perlu belajar mengolah dan
menyeleksi data, melalui berbagai media olah batin yang diajarkan syariat. Ada khauf
(rasa takut terhadap siksa dan kemarahan Allah) dan roja’ (rasa berharap akan
pahala dan keridhaan Allah q), ada raghbah (antusiasme dalam beribadah) dan raghbah
(rasa khawatir berbuat maksiat), ada juga rasa tawakal, sabar, syukur, pasrah
kepada Allah Yang Maha Kuasa, dan berbagai
bentuk ibadah batin lannya. Melalui berbagai media ibadah hati itu, kita akan
mampu mengendapkan makna-makna indah dalam setiap kilasan peristiwa pada hidup
kita, mengingat-ingat sisi penting yang akan dijadikan ibrah dan pelajaran,
serta melupakan segala hal yang bisa menjadi bara dalam sekam di hari-hari
kemudian. Mengapa media-media ibadah hati itu menjadi begitu penting? Karena
hati manusia itu diibaratkan oleh Nabi a, seperti periuk berisi air mendidik
yang dimasak di atas api, bergoyang ke
sana ke mari, menimbulkan suara gemericik ramai. Itu menunjukkan bahwa hati itu
mudah berubah-ubah. Maka, Nabi n sendiri senantiasa bersabda,
ياَ
مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلىَ دِيْنِكَ
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan
hati, teguhkanlah hatiku dalam agamaMu..” [Riwayat At-Tirmidzi, dari Anas secara marfu’. Lihat
Tuhfatul Ahwadzi VI : 349, dan Shohih Al-Jamî’ Ash-Shaghîr 7864]
Cobalah amati, betapa sulit mengondisikan hati mengingat sesuatu yang betul-betul kita lupa, atau sengaja melupakan sesuatu yang selalu terngiang-ngiang dalam ingatan?
Di detik-detik tertentu kita bisa saja tampil sebagai
orang yang begitu penyabar, begitu tabah, namun di lain waktu kita bisa pula
berubah menjadi orang yang nyaris tak memiliki kesabaran sama sekali. Suatu
masa kita mampu menyukuri nikmat Allah, tapi bisa jadi di lain waktu kita
begitu mudah mengufurinya. 'Jangan lupa shalat,' mungkin menjadi kalimat biasa
bagi orang yang memang tak pernah melalaikan shalat, yang senantiasa rajin
menjalankan shalat lima waktu secara berjama'ah di masjid. Tapi betapa kalimat
itu menjadi begitu keramat dan tak ubahnya rapalan yang sulit diingat-ingat,
bagi orang yang lalai menjalankan shalat, yang shalatnya masih bolong-bolong. Orang
yang terbiasa mendengar kalimat, 'jangan lupa shalat,' bisa jadi belum terbiasa
mendengar peringatan, 'jangan lupa mengaji.' Karena tak sedikit Ahli Ibadah
yang jauh dari majelis ilmu. Untuk sebagian hal, kita mampu selalu ingat, tapi
bisa jadi untuk hal lain kita menjadi begitu pelupa. Untuk menjaga konsistensi
hati dalam beribadah dan beramal, seseorang membutuhkan media-media khusus yang
disebut ibadah batin atau ibadah hati.
Disadur dari buku Don't Forget, PT. EFMS, Surabaya, Jawa Timur. Miliki buku ini agar tidak menjadi pelupa.
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.