Banyak Pasal Beri Celah Vonis Koruptor Ringan
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2014/09/banyak-pasal-beri-celah-vonis-koruptor.html
Tolak Revisi KUHAP & KUHP
Jum'at, 19 September 2014 , 08:13:00 WIB
Harian Rakyat Merdeka
RMOL.
Desakan masyarakat sipil untuk menghentikan pembahasan
revisi RUU KUHP dan KUHAP terus berlanjut. Alasannya, kedua RUU ini akan
mengebiri kewenangan penegak hukum termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, hasilnya akan asal-asalan karena masa jabatan anggota DPR Periode
2009-2014 akan segera berakhir.
Kemarin,
sejumlah aktivis antikorupsi menyarahkan petisi penolakan sebanyak 21.071
orang yang dibuat Anita Wahid di situs Change.org kepada pimpinan DPR. Petisi
tersebut diterima langsung Wakil Ketua DPR Pramono Anung yang sekaligus Ketua
Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) di Gedung
DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Koordinator
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson
Yuntho meminta, DPR menarik pembahasan kedua RUU tersebut, karena melemahkan
KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK).
“Adanya
petisi tersebut karena masyarakat khawatir dilemahkannya KPK. Ada kesan dalam
RUU tersebut korupsi tidak ditempatkan bukan sebagai kejahatan luar biasa,
melainkan sebagai kejahatan biasa,” tudingnya di Kompleks Gedung DPR, Jakarta,
kemarin.
Penghentian
pembahasan kedua RUU tersebut, lanjut Emerson, merupakan salah satu langkah
antisipasi dari ICW karena adanya kekhawatiran pelemahan terhadap KPK tersebut.
“Seperti kita ketahui lembaga pemberantas korupsi ini memiliki kewenangan
yang sangat luar biasa untuk menghadapi kejahatan korupsi di Indonesia,”
katanya.
Dia
menerangkan, dalam pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tidak terlihat adanya efek
yang menjerakan bagi para koruptor. Bahkan, beberapa pasal malah membuka
celah peringanan hukuman bagi narapidana tindak pidana korupsi di luar
mekanisme grasi, remisi dan lainnya. “Di Rancangan Undang Undang KUHP dan
KUHAP, KPK akan kehilangan kewenangannya untuk menyidik dan menuntut
bersamaan dengan diberlakukan KUHP dan KUHAP baru,” ungkapnya.
Sementara
itu, Pramono menyatakan mendukung penghentian pembahasan kedua RUU itu.
“Saya sebagai pimpinan DPR yang konsen dengan gerakan anti-korupsi, saya akan
membawa dukungan kepada KPK di sidang Paripurna,” ujarnya saat menerima
dokumen petisi yang dibawa ICW dan Change.org di ruang rapat pimpinan DPR.
Dia
mengaku, akan terus mendukung gerakan antikorupsi sekaligus mendukung
penguatan kewenangan KPK.
“Kita
juga tak ada keinginan untuk melemahkan KPK. Kondisi seperti ini saja masih
sering kebobolan, apalagi KPK dilemahkan. Saya justru ingin KPK ditambah
wewenangnya,” tekannya.
Penambahan
wewenang itu antara lain mengenai asset recovery atau pengembalian aset kepada
negara. “Kami akan tindaklanjuti petisi teman-teman ini kepada Komisi III
supaya akan menjadi pertimbangan. Mudah-mudahan saya selaku pimpinan DPR yang
masih concern terhadap pemberantasan korupsi ini bisa membantu,” terangnya.
Tak
hanya itu, dia juga meminta masyarakat memonitor terus pembahasan RUU KUHAP
nantinya. Menurut dia RUU tersebut tak akan selesai pada periode sekarang.
“Tapi kita perlu mengantisipasi adanya pihak yang memanfaatkan last minute
seperti sekarang ini,” tandasnya. ***
Catatan
Quantum Fiqih
Allah
berfirman, yang artinya,
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ
اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al Maidah: 38).
Firman
Allah yang memerintahkan untuk memotong tangan pencuri bersifat mutlaq. Tidak
dijelaskan berapa batas maksimal harga barang yang dicuri, dimana tempat barang
yang dicurinya dan lain sebagainya. Akan tetapi kemutlakan ayat diatas di-taqyid (diberi batasan) oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian,
para ulama menyaratkan beberapa hal untuk menjatuhkan hukum potong tangan bagi
pencuri. Di antaranya: Barang yang dicuri berada dalam (hirz) tempat yang terjaga dari jangkauan,
seperti brankas/lemari yang kuat yang berada di kamar tidur untuk barang
berharga, semisal: Emas, perhiasan, uang, surat berharga dan lainnya dan
seperti garasi untuk mobil. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi, tidak boleh
memotong tangan pencuri.
Hal
ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh seorang laki-laki dari suku
Muzainah tentang hukuman untuk pencuri buah kurma, “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya adalah
dia harus membayar dua kali lipat. Pencuri buah kurma dari tempat jemuran buah
setelah dipetik hukumannya adalah potong tangan, jika harga kurma yang dicuri
seharga perisai yaitu: 1/4 dinar (± 1,07 gr emas).” (HR. Nasa’i dan
Ibnu Majah. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan).
Batas
minimal barang yang dicuri seharga 1/4 dinar berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh dipotong tangan pencuri, melainkan barang yang
dicuri seharga 1/4 dinar hingga seterusnya.” (HR. Muslim)
Hadis
ini menjelaskan maksud ayat yang memerintahkan potong tangan, bahwa barang yang
dicuri berada dalam penjagaan pemiliknya dan sampai seharga 1/4 dinar.
Persyaratan
ini tidak terpenuhi untuk kasus korupsi, karena koruptor menggelapkan uang
milik negara yang berada dalam genggamannya melalui jabatan yang dipercayakan
kepadanya. Dan dia tidak mencuri uang negara dari kantor kas negara. Oleh
karena itu, para ulama tidak pernah menjatuhkan sanksi potong tangan kepada
koruptor.
Untuk
kasus korupsi, yang paling tepat adalah bahwa koruptor sama dengan mengkhianati
amanah uang/barang yang dititipkan. Karena koruptor dititipi amanah uang/barang
oleh negara. Sementara orang yang mengkhianati amanah dengan menggelapkan
uang/barang yang dipercayakan kepadanya tidaklah dihukum dengan dipotong
tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Orang yang
mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya“.
(HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Di
antara hikmah Islam membedakan antara hukuman bagi orang yang mengambil harta
orang lain dengan cara mencuri dan mengambilnya dengan cara berkhianat adalah
bahwa menghindari pencuri adalah suatu hal yang sangat tidak mungkin. Karena
dia dapat mengambil harta orang lain yang disimpan dengan perangkat keamanan
apapun. Sehingga tidak ada cara lain untuk menghentikan aksinya yang sangat
merugikan tersebut melainkan dengan menjatuhkan sanksi yang membuatnya jera dan
tidak dapat mengulangi lagi perbuatannya, karena tangannya yang merupakan alat
utama untuk mencuri, telah dipotong.
Sementara
orang yang mengkhianati amanah uang/barang dapat dihindari dengan tidak
menitipkan barang kepadanya. Sehingga merupakan suatu kecerobohan, ketika
seseorang memberikan kepercayaan uang/barang berharga kepada orang yang anda
tidak ketahui kejujurannya. (Ibnu Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in, jilid II, Hal. 80)
Ini
bukan berarti, seorang koruptor terbebas dari hukuman apapun juga. Seorang
koruptor tetap layak untuk dihukum. Di antara hukuman yang dijatuhkan kepada
koruptor sebagai berikut:
Pertama,
koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah
habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa
yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya.
Ketentuan
ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Setiap tangan yang
mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya hingga ia
menyerahkan barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi. Zaila’i
berkata, “Sanad hadis ini hasan”).
Kedua,
hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap
pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena
tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al
Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, jilid XII, hal 276.)
Kejahatan
korupsi serupa dengan mencuri, hanya saja tidak terpenuhi persyaratan untuk
dipotong tangannya. Karena itu hukumannya berpindah menjadi ta’zir.
Jenis
hukuman ta’zir terhadap koruptor
diserahkan kepada ulil amri
(pihak yang berwenang) untuk menentukannya. Bisa berupa hukuman fisik, harta,
kurungan, moril, dan lain sebagainya, yang dianggap dapat menghentikan
keingingan orang untuk berbuat kejahatan. Di antara hukuman fisik adalah
hukuman cambuk.
Diriwayatkan
oleh imam Ahmad bahwa Nabi menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pencuri barang
yang kurang nilainya dari 1/4 dinar.
Hukuman
kurungan (penjara) juga termasuk hukuman fisik. Diriwayatkan bahwa khalifah
Utsman bin Affan pernah memenjarakan Dhabi bin Al-Harits karena dia melakukan
pencurian yang tidak memenuhi persyaratan potong tangan.
Denda
dengan membayar dua kali lipat dari nominal harga barang atau uang negara yang
diselewengkannya merupakan hukuman terhadap harta. Sanksi ini dibolehkan
berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam terhadap “Pencuri buah kurma
dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya dia harus membayar dua kali lipat”.
(HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hukuman
ta’zir ini diterapkan karena pencuri harta negara
tidak memenuhi syarat untuk dipotong tangannya, disebabkan barang yang dicuri
tidak berada dalam hirz
(penjagaan selayaknya).
Artikel:
www.thaybah.id dan
cafeilmubrilly.blogspot.com
Redaksi:
Brilly El-Rasheed
Admin:
Muhammad Ali Akbar dan Ardha Putra S.
KOMISI BAHTSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-WAQI’IYYAH
MUSYAWARAH
NASIONAL ALIM ULAMA & KONFERENSI BESAR NAHDLATUL ‘ULAMA
Di Pondok
Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon
Tanggal, 14-18
September 2012
Bagaimanakah hukum menerapkan hukuman mati bagi
koruptor ?
Jawaban a:
Apabila koruptor tidak jera dengan berbagai
hukuman, maka boleh diterapkan hukuman mati.
السنة المطهرة :
عَنْ إِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: أَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَيْنٌ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَهُوَ
فِي سَفَرٍ فَجَلَسَ عِنْدَ أَصْحَابِهِ يَتَحَدَّثُ ثُمَّ انْفَتَلَ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (اطْلُبُوهُ وَاقْتُلُوهُ
فَقَتَلَهُ فَنَفَّلَهُ سَلَبَهُ) رواه البخاري
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ
مِنْهُمَا) رواه مسلم
عَنْ عَرْفَجَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: (مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ
يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ) رواه مسلم
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: (نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ) رواه
الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.
بغية المسترشدين ج: 1 ص: 250
فائدة : قال المحب الطبري في كتابه التفقيه: يجوز قتل عمال الدولة المستولين
على ظلم العباد إلحاقاً لهم بالفواسق الخمس، إذ ضررهم أعظم منها، ونقل الأسنوي عن
ابن عبد السلام أنه يجوز للقادر على قتل الظالم كالمكاس ونحوه من الولاة الظلمة أن
يقتله بنحو سمّ ليستريح الناس من ظلمه، لأنه إذا جاز دفع الصائل ولو على درهم حتى
بالقتل بشرطه فأولى الظالم المتعدي اهـ.
تكملة المجموع
على شرح المهذب الجزء السادس والعشرون ص: 241 - 242 المكتبة السلفية
(القتل) وهو أشد أنواع التعزير كذلك كان جزاء على أفخش الجرائم وأعظمها ضررا
بمصالح المجتمع والجرائم الهادمة لكيان المجتمع المقوضة لأركان النظام-إلى أن قال-
فقد نص الحنفية على جواز التعزير بالقتل لمن لايزول فساده الا بالقتل كمن تكرر
منه اغتيال النفوس لأخد المال مثلا وكذلك قالوا الساعي الى الحكام بالإفساد
والظلمة والسارق وأمثالهم ممن يتعدى ضررهم الى الناس وكذلك روى عن مالك وبعض
أصحاب أحمد جواز القتل تعزيرا كما في قتل الجاسوس المسلم إذا اقتضت المصلحة ذلك
وأما عند الشافعية فقد اختلف النقل عنهم فها هو الغزالي في الوجيز يقول ولا يجوز
أن يقتل في التعزير والاستصلاح وهذا النص صريح فى عدم جواز القتل تعزيرا عندهم
ولكن إبن القيم يقول روي عن بعض أصحاب الشافعي جواز قتل الداعية إلى البدعة
كالتهجم والرفض وإنكار القدر وهذا صريح أيضا في أن بعض أصحاب الشافعى يجيزون القتل
تعزيرا
إعانة الطالبين؛ ج 4، ص 182 :
(قوله: ولا بمال مصالح) معطوف أيضا على بنحو حصر، أي ولا يقطع بسرقة مال يصرف
في مصالح المسلمين كعمارة المساجد وسد الثغور ونحو ذلك (قوله: كبيت المال) أي الذي
لم يفرز لغيره، أما ما أفرز لغيره ممن له سهم مقدر، كذوي القربى، فيقطع به، وعبارة
المنهاج مع شرح م ر: ومن سرق بيت المال وهو مسلم إن أفرز لطائفة ليس هو منهم قطع
لانتفاء الشبهة، وإلا بأن لم يفرز فالاصح أنه إن كان له حق في المسروق كمال مصالح
ولو غنيا فلا يقطع. اه. (قوله: لأن له) أي للسارق في بيت المال حقا، وهو علة لعدم
قطع السارق من بيت المال، (وقوله: لأن ذلك الخ) علة للعلة، أي وإنما كان له فيه حق
وإن كان غنيا لأن ذلك قد يصرف الخ. (وقوله: فينتفع به) أي بما ذكر من المساجد
والرباطات.
Apakah hasil korupsi wajib dikembalikan seluruhnya
meskipun telah ditetapkan hukuman bagi pelakunya ?
Jawaban b:
Seluruh harta hasil korupsi wajib dikembalikan ke
Negara meskipun pelaku telah menjalani hukuman.
الشرح المختصر على بلوغ المرام؛ ج 4، ص 18 :
نقل الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى في كتابه بلوغ
المرام في كتاب الجنائز عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي - صلى الله عليه وسلم
– قال: نفس المؤمن معلقة بدينه حتى يقضى عنه والدين هو كل ما يدخل في الذمة من ثمن
مبيع أو قرض أو اجره أو قيمة مثله أو غير ذلك كل ما ثبت في ذمة الإنسان فإنه دين
وإذا مات الإنسان وجب على ورثته أن يبادروا بقضاء دينه حتى قال أهل العلم يقضى
دينه قبل دفنه بمعني انه يحصر أهل الدين ويؤتى بهم ويعطون ديونهم قبل أن يدفن ولكن
لا يؤخر الدفن من اجل ذلك بل يعجل الدفن ويعجل قضاء الدين ولهذا قال العلماء يجب على الورثة
أن يسرعوا في قضاء دين الميت وذلك لأن الورثة ليس لهم حق في المال إلا بعد الدين
يعني ليس لهم حق إذا كان مال الإنسان مليون ريال مثلا فليس لهم من هذه المليون ولا
قرش واحد إلا إذا قضوا الدين لان الله تعالى من بعد وصية يوصى بها أو دين وما
يوجد من تهاون بعض الورثة في قضاء دينه فإنه بلا ك عدوان على الميت ومخالفة لما
يجب عليهم من المبادرة لقضاء الدين.
Tuhfatul Muhtaj : 39/75
Syarh Manhaj : 5/ 151
Wa ‘ala ssariq raddu maa saraq….
Bagaimanakah hukum memeriksa kekayaan yang diduga
hasil korupsi, sedangkan tersangka pelaku telah meninggal dunia?
Jawaban c:
Memeriksa kekayaan yang diduga hasil korupsi adalah
wajib meskipun tersangka pelaku telah meninggal dunia agar memperoleh kepastian
mengenai status harta tersebut. Apabila terpenuhi bukti, bahwa harta tersebut
adalah hasil korupsi, maka wajib dikembalikan kepada negara dan untuk
membersihkan harta warisan dari harta haram.
Dasar Pertimbangan Hukum :
الزواجر عن اقتراف الكبائر؛ ج 3، ص 308 :
الضرب الثاني: ما يتعلق به حق آدمي فالتوبة منه يشترط فيها جميع ما مر، ويزيد
هذا بأنه لا بد من إسقاط حق الآدمي، فإن كان مالا رده إن بقي وإلا فبدله لمالكه أو
نائبه أو لوارثه بعد موته ما لم يبرئه منه ولا يلزمه إعلامه به، فإن لم يكن
وارث أو انقطع خبره دفعه إلى الإمام ليجعله في بيت المال أو إلى الحاكم المأذون له
التصرف في مال المصالح، فإن تعذر قال العبادي والغزالي: تصدق عنه بنية العزم،
وألحق الرافعي في الفرائض واعتمده الإسنوي وغيره بالصدقة سائر وجوه المصالح، فإن
لم يكن هناك قاض بشرطه صرفه الأمين بنفسه في مال المصالح، وإن كان هناك قاض بشرطه
غير مأذون له في التصرف في مال المصالح ففيه أوجه: يدفعه إليه يصرفه بنفسه إن كان
أمينا في مال المصالح، وإلا دفعه للقاضي يوقف إلى ظهور بيت المال، أو ما يقوم
مقامه بشرطه.
أسنى المطالب؛ ج 4، ص 194 :
( ويبادر ) بفتح الدال ندبا ( بقضاء دينه، وإنفاذ وصيته إن تيسر ) حالا تعجيلا
للخير ولخبر (نفس المؤمن معلقة بدينه حتى يقضى عنه) رواه الترمذي وحسنه قال في
المجموع.
والمراد بالنفس هنا الروح ومعلقة محبوسة عن مقامها الكريم فإن لم يتيسر حالا
سأل وليه غرماءه أن يحللوه ويحتالوا به عليه نص عليه الشافعي والأصحاب واستشكل في
المجموع البراءة بذلك ثم قال ويحتمل أنهم رأوا ذلك ميراثا للميت للحاجة والمصلحة وظاهر
أن المبادرة تجب عند طلب ذي الحق حقه مع التمكن من التركة.
أسنى المطالب؛ ج 4، ص 196 :
( قوله ويبادر بقضاء دينه ) قالوا ويستحب أن يكون ذلك قبل الاشتغال بغسله
وغيره من أموره ( قوله رواه الترمذي وحسنه ) وصححه ابن حبان والحاكم ح ( قوله
وظاهر أن المبادرة تجب إلخ ) أشار إلى تصحيحه ( قوله عند طلب ذي الحق حقه إلخ )
أو كان قد عصى بتأخيره لمطل أو غيره لضمان الغصب والسرقة وغيرهما.
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.