Budaya Literasi, Seharusnya Dilaksanakan dan Dikembangkan
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2015/04/budaya-literasi-seharusnya-dilaksanakan.html
Oleh M. Maftuhin ar-Raudli
Sesungguhnya al-Qur’an yang pertama kali diturunkan
adalah ayat-ayat yang memerintahkan untuk membaca. Ayat-ayat tersebut merupakan
rahmat pertama yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala. kepada para
hamba-Nya dan nikmat pertama yang dicurahkan Allah kepada mereka.
Ayat-ayat ini merupakan peringatan awal tentang
penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan Sesungguhnya di antara kemurahan
Allah Ta’ala adalah mengajarkan pada umat manusia sesuatu yang tadinya
tidak diketahui.
Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat dan
memuliakannya dengan ilmu. Inilah jabatan yang hanya diberikan Allah kepada
bapak Manusia, yaitu Adam ‘alaihi sallam, sehingga membedakannya dengan
Malaikat. Dan ilmu terkadang ada dalam benak kadang-kadang dengan lidah.
Kadang-kadang pula berada dalam tulisan dan bersifat mentalistik dan formalistik.
Kata formalistik memastikan ilmu berada dalam tulisan, namun tidak sebaliknya.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan.”
“……Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat……” (QS. al-Mujadilah: 11)
Ayat-ayat dalam surat al-Alaq di ataslah yang
mengisyaratkan bahwa dengan membaca kita akan mengetahui apa yang tidak kita
ketahui sebelumnya. Tentu saja, kita butuh seorang pengajar untuk memahaminya,
sebagaimana Allah mengajarkan kepada para utusan-Nya, dan para utasan-Nya itu
mengajarkan apa-apa yang telah diketahuinya kepada para sahabatnya dan demikian
seterusnya.
Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu, ia
berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda yang artinya: “Tidak
ada hasad (iri) yang dibenarkan kecuali terhadap dua orang, yaitu terhadap
orang yang Allah berikan harta, ia menghabiskannya dalam kebaikan, dan terhadap
orang yang Allah berikan ilmu, ia memutuskan dengan ilmu itu dan mengajarkannya
kepada orang lain. (HR Muslim, no. 1352)
Membaca merupakan salah satu cara dalam mendapatkan
ilmu, oleh karena itu betapa pentingnya membaca. Lihatlah betapa para ulama’
terdahulu yang shalih dalam mencari ilmu.
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang semangatnya
mempelajari ilmu adab, “Bagaimana ketamakanmu terhadapnya?” Beliau menjawab,
“Ibarat orang yang tamak mengumpulkan berbagai macam harta demi mencapai
kepuasan terhadapnya.” Kemudian ditanya lagi, “Bagaimana cara kamu mencarinya?”
Beliau menjawab “Sebagaimana seorang ibu sedang mencari anaknya yang hilang,
dia tidak mencari apapun selain anaknya.”
Imam Ahmad berkata: “Aku mengembara untuk mencari
hadits dan sunnah ke Tsughur, wilayah Syam, Sawahil, Maroko, al-Jazair,
Madinah, Irak, wilayah Hauran, Persia, Khurasan, gunung-gunung dan ujung dunia.”
Abul Husain Ahmad bin Faris al-Lughawi berkata: “Saya
mendengar Ustadz Ibnu al-’Amid berkata, “Saya tidak pernah menyangka bahwa di
dunia ini ada kenikmatan lain yang lebih nikmat dari kepemimpinan dan
kementrian yang aku jabat, hingga suatu saat aku bisa menyaksikan diskusi yang
terjadi antara Abu Qasim ath-Thabrani dan Abu Bakr al-Ji’ani. Ath-Thabrani
memiliki kelebihan dalam bidang hafalan dibanding dengan Abu Bakr, sedangkan
Abu Bakr memiliki kelebihan dalam sisi kejelian dan kejeniusannya, hingga suara
keduanya semakin meninggi dan tidak ada satupun yang terkalahkan.
Al-Ji’ani berkata, “Saya memiliki sebuah hadits yang
tidak didapatkan dunia ini kecuali ada padaku.” Ath-Thabrani berkata, “Mana?”
Al-Ji’ani berkata, “Telah berkata kepada kami Abu Khulaifah al-Jumahi, berkata
kepada kami Sulaiman bin Ayyub, kemudian dia menyebutkan sebuah hadits.”
AL-Ji’ani pun tersipu malu, maka saya semakin yakin bahwa jabatan bukan
segala-galanya. Saya kagum kepada Thabrani dan sangat senang kepadanya. (Siyar
A’lamin Nubala)
Riwayat-riwayat tersebut adalah hanya sebagian kecil
para salafush shalih tentang bagaimana keseriusannya dalam menuntut
ilmu. Mereka rajin membaca dan juga menulis, walaupun sarana dan prasarana
mereka sangat terbatas. Karena membaca dan menulis merupakan jendela dunia.
Kita akan mampu mengetahui banyak hal dari keduanya.
Inilah yang dimaksud dengan pokok kalimat:
“Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam (baca-tulis). Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.”
Admin: Muhammad Maftuhin
Editor: Muhammad Sutrisno S.Pd.I
Copyright: cafeilmubrilly.blogspot.com
Ingin beriklan Rp. 50.000,-/bulan? Hubungi 081515526665
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.