Menjadi Pribadi Qur'ani
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2015/04/menjadi-pribadi-qurani.html
Pribadi Sebagai
Hamba Allah
Kenyataan di
jagad raya (dunia) membuktikan bahwa ada kekuatan yang tidak Nampak. Dia
mengatur dan memelihara alam semesta ini.Juga Dialah yang menjadi sebab adanya
semua ini. Dalam pengaturan alam semesta ini terlihat ketertiban, dan ada suatu
peraturan yang berganti-ganti dan gejala dating dengan keteraturan-Nya.
Semua
kenikmatan tersebut, bukan berarti “ Sang Pencipta mempunyai maksud kepada
manusia supaya membalas dengan sesuatu, itu tidak, tetapi Allah SWT. memerintahkan
manusia agar senantiasa beribadah kepada-Nya.
Hubungan
manusia dengan Allah adalah hubungan makhluk dengan kholiknya. Dalam masalah
ketergantungan , hidup manusia selalu mempunyai ketergantungan kepada yang
lain. Dan tumpuan serta pokok ketergantungan adalah ketergantungan kepada yang
Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah
Allah Rabul ‘alamin, Allah Tuhan Maha Esa.
Ketergantungan
manusia kepada Allah ini, difirmankan Allah:
“Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. al-Ikhlas: 2)
Pada garis
besarnya kewajiban manusia kepada Allah menurut hadits Nabi, yang diriwayatkan
dari sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa Nabi Saw. bersabda:
كُنْتُ رِدْفَ النَّبِى صَلَى اللهُ
عليهِ وسلَّمَ عَلَى حِمَارِ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ فَقَالَ : ياَ مُعَاذُ، هَلْ
تَدْرِىْ حَقَّ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقَّ اْلعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟
قُلْتُ : اللهُ ورَسُوْلُهُ اَعْلَمُ قَالَ : فَإِنَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ اَنْ
يَعْبُدُوْهُ وَلَايُشْركُوا بِهِ شَيْأً وَحَقُّ العِبَادِ عَلَى اللهِ اَنْ
لَايُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكَ بِهِ شَيْأً , قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ !
اَفَلَا اُبَشِّرُ بِهِ النَّاسِ؟ قَالَ : لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا
“Adalah aku
duduk di belakang Nabi di atas sebuah keledai yang dinamai Ufair, maka bersabda
Nabi: Hai Mu’adz apakah engkau mengetahui hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak
engkau mengetahui hak hamba terhadap Allah? Menjawab aku, Allah dan Rasul-Nya
yang lebih mengetahui. Bersabda Nabi: maka bahwasanya hak Allah atas para
hamba, ialah : Mereka menyembah-Nya dan tidak memperserikatkan Dia dengan
sesuatu dan hak para hamba terhadap Allah, Tiada Allah mengadzabkan orang yang
tidak memperserikatkan Dia dengan sesuatu. Mka berkata aku, ya Rasullah, apa
tidak lebih baik saya menggembirakan para manusia dengan dia? Bersabda Nabi,
jangan kamu menggembirakan mereka yang menyebabkan mereka akan berpegang kepada
untung saja.” (Al-Lu’la uwal Marjan I :8)
Jadi
berdasarkan hadits ini kewajiban manusia kepada Allah pada garis besarnya
ada dua:
1. Mentauhidkan-Nya yakni tidak memusyrikkan-Nya kepada
sesuatupun.
- Beribadah kepada-Nya.
Orang yang
demikian ini mempunyai hak untuk tidak disiksa oleh Allah, bahkan akan diberi
pahala dengan pahala yang berlipat ganda, dengan sepuluh kali lipat sampai
tujuh ratus kali lipat bahkan dengan lipat ganda yang tak terduga banyaknya
oleh manusia.
Pribadi sebagai
Anak
Ketika nabi Ibrahim
masih kecil, berdialog kepada ayahnya tentang Tuhan. Dan kesimpulannya bahwa
Tuhan telah member petunjuk kepada manusia bahwa memperTuhan benda adalah
sangat keliru.
Dengan
demikian, dunia anak sangat penting diperhatikan. Apabila keliru dalam mendidik
akhlak anak, bias jadi dunia anak akan tidak mengenal akhlak yang lebih lanjut
anak akan melakukan perbuatan yang abnormal kriminalitas dan lain sebagainya.
Contoh dalam pendidikan akhlak, apabila anaka-anak sekolah berdusta di dalam
segala apa yang mereka bicarakan, didukung para gurunya berdusta juga di dalam
mengajar dan segala pembicaraannya, maka masyarakat (anak-anak) tidak dapat
berujud. Dan apabila dunia anak terancam demikian, masyarakat yang akan dating
tidak dapat berwujud karena adanya tiap-tiap yang dibicarakan menjurus dusta.
Dan yang membekas dan berwujud pada masyarakat yang merusak dan rendah
martabatnya.
Maka model
mendidik akhlak anak, tidak langsung berkata itu baik, atau itu buruk, apabila
seorang anak baru saja belajar membaca, menurut kita itu jelek/buruk namun kita
tidak seharusnya berkata demikian. Sebab dapat menyakiti hati dan patah
semangat. Tetapi kita beri semangat dan dorongan yang dapat memacu dan
bergiatnya si anak.
Akhlak Pada
Ayah dan Ibu
Betapa berat
tangguangan seorang ibu dikala mengandung dan demikian pula kalau sudah dating
waktunya melahirkan. Dengan mengerahkan seluruh perhatian, jiwa raga dan tenaga
si ibu melahirkan jabang bayinya dengan harap-harap cemas. Berharap agar si bayi
yang dilahirkannya sehat dan sempurna keadaannya sebagai manusia sempurna
anggota badannya, seperti susunan jasmaninya dan tumbuh dalam keadaan yang
wajar baik jasmani maupun rohaninya. Cemas kalau-kalau jabang bayinya tidak
normal baik jasmani dan rohaninya atau ada gangguan-ganguan yang tidak
diinginkannya. Di samping itu derita jasmani si ibu menahan dikala melahirkan
jabang bayinya tersebut.
Setelah jabang
bayinya lahir, betapa kasih saying si ibu kepada anaknya, seakan-akan segala
yang ada pada si ibu adalah untuk anaknya. Jiwa, raga perhatian, kasih saying
semuanya ditumpahkan untuk si jabang bayi itu, agar si bayi selamat sentosa
dalam pertumbuhannya menjadi manusia yang baik. Kata sanjung dan manjaan, kata
timang yang mengandung doa dan harapan meluncur dicurahkan untuk si bayi,
semoga kelak menjadi manusia yang ideal.
Mengapa
demikian besar kasih sayang ibu kepada anaknya. Padahal sewaktu belum
mengandung seakan belum mau mempunyai anak. Atau karena anaknya sudah dua tiga
ingin tidak ada yang keempat. Tetapi karena dikarunia Tuhan anak yang
selanjutnya kasih saying ibu tidak ada bedanya antar kepada yang pertama yang
kedua dan seterusnya.
Dari mana
datangnya cinta kasih saying kepada putranya, padahal tiada pamrih. Lain dengan
cinta seorang kekasih kepada pacarnya, yang kalau kasihnya tiada terbalas bias
berbalik menjadi benci. Tetapi kasih ibu bagaimanapun tiada akan berubah dan
hilang, walaupun si anak tiada membalas kasih dan cinta ibu.
Memang itu
kareana “Hidayah”, anugerah dari pada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Hidayah itu tersebut insting atau naluri, dalam ilmu agama disebut
“Hidayah-ghariziyyah”.
Beberapa
perkara yang harus di perhatikan dan dilaksanakan oleh seorang anak kepada
Orang tua yakni:
a.
Berbuat Baik
kepada Ibu dan Ayah, Walaupun keduanya Lalim
Seorang anak menurut ajaran islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan
ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai seorang anak samapai
menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun seandainya orang tuanya berbuat
lalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka jangan
sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas atau mengimbangi
ketidakbaikan orang tua kepada anaknya. Allah tidak meridhoinya sehingga orang
tua itu meridhoinya.
b. Berkata Halus dan mulia kepada Ibu dan Ayah
Kewajiban anak kepada orang tuanya berbicara menurut ajaran islam harus
berbicara sopan, lemah lembut dan mempergunakan kata-kata mulia hal ini dituturkan
dalam Firman Allah:
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra’: 23-24)
Dari ayat-ayat
tersebut, dapat di tarik kesimpulan bahwa sewajarnya seorang anak untuk berbuat
baik kepada orang tua baik berbicara dan yang lain- lain. Dengan cara tidak
menyinggung perasaan orang tua dan tidak berkata kasar kepada mereka.
c.
Berbuat baik
kepada Ibu dan atau Ayah yang sudah meninggal dunia
Apabila ibu dan ayah masih hidup, si anak berkewajiban
berbuat baik, dan itu mudah dilakukan dengan berbagai macam cara, baik yang
bersifat moaral, maupun yang bersifat material.
Bagaimana
berbuat baik seorang anak kepada ayah dan atau ibunya yang sudah tiada. Hal ini
agama islam mengajarkan supaya seorang anak:
a.
Mendoakan ayah
ibu yang telah tiada itu dan memintakan ampun kepada Allah dari segala dosa
orang tua kita. Doa yang sering di amalkan yakni:
اللَّهُمَّ اغْفِرْلىِ وَلِوَالِدَىَّ
وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا
b.
Menepati janji
kedua ibu bapak, Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji kepada
seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati janji tersebut.
Umpamanya beliau akan naik haji, yang belum sampai melaksanakannya. Maka
kewajiban anaknya untuk menunaikan haji untuk orang tuanya tersebut. Dan hal
ini diperbolehkan menurut hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas:
اَنَّ امرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ
اِلَى النَّبِى صَلَى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمِ فَقَالَتْ : اِنَّ اُمِّى نَذَرْتْ
اِنَّ تَحَجَّ فَلَمْ تَحَجَّ حَتىَّ مَا تَتْ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا؟ قَالَ :
نَعَمْ , حُجِّى عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوكَانَ عَلَى اُمِّكَ دَيْنٌ اَكَنْتِ قَا
ضِيَهُ ؟ اُقْضُوا اللهَ فاللهُ اَحَقَّ بِالْوَفَاءِ
(رواه
البخارى)
“Bahwa seorang perempuan dari Juhainah dating
kepada Nabi Saw, ia bertanya kepada Rasullah: Bahwasannya ibu saya telah
bernazar untuk berhaji, tapi ia tidak haji sampai meninggal dunia. Apakah boleh
saya menghajikannya? Jawab Rasullah:”ya, hajikanlah! Apakah kau tahu, kalau
seandainya ibu mempunyai hutang, apakah engkau membayarkannya? Bayarkan
(tepatilah) kepada Allah, sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditepati!” (HR. Bukhari)
c.
Memuliakan
teman-teman kedua orang tua. Di waktu hidupnya ibu dan ayah, beliau-beliau
mempunyai teman-teman akrab, yang segulung-segalang orang tua kita dengan
temannya.
d.
Bersilaturrahmi
kepada orang-orang yang mempunyai hubungan dengan kedua orang tua.
Admin: Muhammad Maftuhin
Editor: Muhammad Sutrisno S.Pd.I
Copyright: cafeilmubrilly.blogspot.com
Ingin beriklan Rp. 50.000,-/bulan? Hubungi 081515526665
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.