Tidak Pernah Marah, Mungkinkah?
http://cafeilmubrilly.blogspot.com/2015/04/tidak-pernah-marah-mungkinkah.html
Oleh:
M. Maftuhin ar-Raudli
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : لَا
تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ : لَا
تَغْضَبْ
“Dari Abu
Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam: “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Engkau
jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda, “Engkau jangan marah!” (HR. al-Bukhari)
Definisi Marah
Marah
ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan
terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan
yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan
seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan
mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki,
berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai
membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang
terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh
dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati
anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang,
wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.
Syarah Hadits
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama
Jariyah bin Qudamah radliyallahu ‘anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi
dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara
kebaikan, agar ia dapat
menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak
marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi
tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok
berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:
“Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang
tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang
dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.
Di
dalam Al-Qur’an
Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang dinisbatkan kepada
Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan murka kepada orang-orang
kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang melewati batas-Nya. Allah Ta’ala
berfirman:
“......Dan
Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka
Jahannam. Dan (neraka Jahannam) Itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (QS. al-Fath:
6)
Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat marah yang belum pernah marah
seperti kemarahan saat itu baik sebelum maupun sesudahnya.
Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah,
tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan
dengan sifat makhluk-Nya. Karena Allah berbeda dengan makhluk-Nya dalam semua
segi.
Sifat marah bagi Allah Azza wa Jalla merupakan
sifat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan
manhaj Salaf yang wajib ditempuh oleh setiap muslim.
Adapun
marah yang dinisbatkan kepada makhluk,
ada yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah Azza
wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas,
membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi
was
sallam,
beliau marah karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka
beliau marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa alaihis salam dan marahnya Nabi Yunus alaihis salam . Adapun yang tercela
apabila dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Dalam
hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi dan hawa
nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far
bin Muhammad rahimahullah mengatakan: “Marah adalah pintu segala
kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah, “Kumpulkanlah
untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan
amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah
menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.
Sabda
Rasulullah shallallahu
‘alaihi
was
sallam:
“Engkau jangan marah.” Kepada
orang yang meminta wasiat kepada beliau mengandung dua hal.
Pertama. Maksud dari perintah beliau ialah: perintah untuk
memiliki sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah
hati, penyantun, malu, tawadlu’, sabar, menahan diri dari mengganggu orang
lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak baik yang
semisalnya.
Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia
ini dan menjadi kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat
timbul berbagai sebabnya.
Kedua. Maksud sabda Nabi ialah: engkau jangan melakukan
tuntutan marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk
tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya. Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka
amarah itu yang memerintah dan yang melarangnya.
Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan
amarahnya dan dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah
darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang sehingga
seolah-olah ia tidak marah.
Admin: Muhammad Maftuhin
Editor: Muhammad Sutrisno S.Pd.I
Copyright: cafeilmubrilly.blogspot.com
Ingin beriklan Rp. 50.000,-/bulan? Hubungi 081515526665
Ingin menerbitkan majalah? Segera hubungi 081515526665
Beberapa klien kami:
Sampaikan komentar Anda sebagai wujud terima kasih Anda dan sebagai bahan evaluasi kami.